Puasa adalah suatu bentuk ibadah yang lazim dilakukan oleh manusia. Kita bisa
melihat catatan sejarah yang merekam praktik puasa sebagai ritual yang
dipercaya, bisa memberi kesehatan bahkan keabadian. Orang Mesir Kuno percaya
bahwa kelebihan makan bisa mendatangkan penyakit sehingga perlu dilakukan
pengurangan asupan makanan ke dalam tubuh, yaitu dengan praktik puasa. Selain
itu, Phytagoras, seorang filsuf Yunani Kuno, percaya bahwa berpuasa bisa
memurnikan pikiran manusia karena puasa bisa menghilangkan racun dari tubuh.
Belum lagi, kepercayaan orang-orang Inca di Peru dan suku-suku asli Amerika
lainnya yang melakukan puasa sebagai bentuk penebusan dosa.Pada kehidupan
modern, puasa sebagai bentuk ibadah dapat ditemukan pada empat agama besar
dunia, yaitu Islam, Kristen, Yahudi, dan Buddha.
Setiap agama memiliki
bentuk puasa yang khas, baik dalam metode maupun hari pelaksanaannya. Sebagai
contoh, saat ini sekitar lebih dari satu miliar Muslim melakukan puasa Ramadhan
setiap tahun, begitu juga dengan jutaan orang Yahudi yang berpuasa di hari Yom
Kippur. Belum lagi puluhan jutaan orang Hindhu yang berpuasa di hari Ekadashi.
Secara umum, puasa
adalah keadaan di mana tubuh tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman, dari
waktu fajar sampai waktu terbenamnya matahari. Hal ini berarti tidak ada asupan
senyawa glukosa dalam tubuh kita selama berpuasa. Sebagai bahan bakar utama
otak, absennya senyawa glukosa ini diduga menyebabkan berkurangnya daya atau
kinerja otak dalam berpikir selama berpuasa. Benarkah demikian?
Dunia sains mengartikan
akal budi sebagai kognisi yang meliputi berbagai proses mental untuk
mendapatkan pengetahuan. Contohnya adalah berpikir, mengingat, memutuskan
sesuatu, dan memecahkan masalah. Semua contoh itu adalah fungsi yang membentuk
bahasa, imajinasi, persepsi, dan perencanaan (Wagner 2009). Fungsi-fungsi
tersebut diproses dalam otak yang memiliki jutaan sel saraf. Nah, sel saraf
inilah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses mental.
Seperti sel-sel tubuh
lainnya, sel saraf memerlukan energi yang cukup untuk bekerja dengan baik dan
benar. Energi ini hanya datang dari glukosa. Oleh karena itu, untuk menjalankan
fungsi mental, otak manusia memerlukan glukosa yang cukup. Dengan asumsi ini,
puasa sebagai kondisi di mana makanan tidak masuk ke dalam tubuh dalam waktu
tertentu, diduga dapat menurunkan kualitas proses mental yang ada di dalam
otak. Akan tetapi, fakta
membuktikan bahwa kurangnya glukosa pada saat puasa tidak menghambat pemenuhan
kebutuhan glukosa di dalam otak. Bagaimana pun juga, tubuh kita adalah sistem
pengatur energi yang canggih. Tubuh selalu bisa menjaga keseimbangan
(homeostatis). Jadi, ketika tubuh mendeteksi adanya kekurangan glukosa maka
glukosa tambahan, akan dibentuk dari sumber lainnya yang ada di dalam tubuh,
seperti glikogen dan protein. Pembentukan glukosa yang baru ini
(glukoneogenesis) membuat ketersediaan glukosa di dalam otak menjadi seimbang
(Rochmyaningsih 2009). Dengan cara seperti itulah, otak manusia dapat bekerja
normal pada saat puasa harian, seperti puasa Senin-Kamis dan juga puasa Ramadhan.
Seperti yang kita
ketahui, dewasa ini makanan sampah (junkfood) berlimpah. Banyak sekali kita
temukan orang yang jarang berpuasa dan mengonsumsi makanan secara berlebihan,
entah itu sering mengonsumsi mi instan, makanan manis, makanan cepat saji (fast
food), makanan berlemak, dan lain sebagainya. Fenomena ini merupakan hal yang
buruk bagi kesehatan orang bersangkutan. Tingginya konsumsi makanan yang tidak
sehat, bisa mengakibatkan tingginya aktivitas sistem tubuh. Kita membuat sistem
tubuh kita lelah dengan makanan-makanan yang kita masukkan secara berlebihan.
Tidaklah heran, jika pola makan yang tidak sehat ini bisa mengakibatkan
penyakit, seperti obesitas dan juga diabetes (Halberg 2005). Perlu kita ketahui
di sini bahwa diabetes adalah penyakit yang bisa mengundang penyakit lainnya,
seperti penyakit kardiovaskuler, stroke, dan juga karsinoma (Bartness et al
2002).Nah, dengan puasa
berselang-seling, sebagai bentuk pembatasan kalori, kita bisa mencegah
penyakit-penyakit ini. Dengan asupan makanan yang berkurang, kita bisa membuat
sistem pencernaan tubuh kita beristirahat, berhemat dalam menggunakan makanan
yang masuk, dan mendapatkan fungsi metabolisme tubuh yang optimal (Haldberg et
al 2005). Puasa berselang-seling juga dapat meningkatkan sensitivitas hormon
insulin sehingga menguntungkan bagi pengaturan glukosa dalam tubuh (Anson
2003).
Di Indonesia,
kebanyakan Orang menyalahkan puasa sebagai hal yang membuat mereka kurang
berkonsentrasi saat bekerja. Padahal, sebenarnya yang mengganggu mereka adalah
sensasi lapar. Sensasi ini memang dapat mengganggu konsentrasi karena di proses
dalam otak juga. Akan tetapi, kita dapat mengabaikan sensasi ini jika kita
benar-benar berkonsentrasi penuh pada pekerjaan kita. Faktanya, belum ada
penelitian yang menunjukkan bahwa puasa harian menyebabkan berkurangnya kinerja
otak dalam berpikir. Puasa aman untuk diamalkan. Tapi, apa yang menyebabkan
puasa layak disebut gaya hidup yang sehat?
Apa yang menyebabkan
puasa bermanfaat bagi kesehatan. Puasa berselang-seling merupakan salah satu
bentuk pembatasan kalori (caloric restriction). Pembatasan kalori adalah usaha
membatasi jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh. Maka dari itu kita
semua jangan takut untuk berpuasa, karena puasa sangat bermanfaat bagi
kesehatan dan disamping itu juga mencegah sifat konsumerisme di tengah budaya
masyarakat indonesia.
Sumber:
http://jalanayam.blogspot.com