Sandal
jepit selalu menjadi cerita primadona, ada apa…?. Sebagaian besar para jama’ah
yang pulang dari haji, sering bercerita tentang sandal japit mereka. Hal ini
sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Apakah hal ini terpengaruh oleh cerita
jama’ah haji sebelumnya, ataukah tidak. Tetapi yang jelas setiap kita
mengunjungi jama’ah haji yang baru pulang dari ibadahnya, selalu ada cerita
tentang sandal japit. Pak Adi misalnya, ia sejak berangkat dari tanah air
membawa sandal japit sebanyak lima pasang. Ketika seorang temannya bertanya
mengapa membawa sebanyak itu, ia hanya tertawa saja, sambil ganti bertanya
setengah mengolok temannya. “Apa kamu tidak pernah tahu cerita orang-orang haji
sebelumnya? Kalau kamu tahu pasti kamu akan membeli dan mempersiapkan sandal
lebih banyak dari saya!” katanya. Sang teman pun hanya geleng kepala saja
sambil pergi. Ketika pak Adi pulang dari ibadah haji, Ia kembali bercerita
tentang sandal japitnya. Ternyata benar firasatnya! Lima pasang sandal yang
ia persiapkan dari rumah, di kota Mekah hanya bisa ‘bertahan’ lima hari saja.
Setiap hari ia kehilangan sandal japitnya. Selalu lupa di mana menaruh
sandalnya tersebut. Sehingga pada hari yang ke enam ia membeli lagi sandal di
kota mekah untuk kesehariannya. Dan anehnya sandal yang ia beli tersebut
bertahan sampai ia selesai melakukan ibadah di kota Mekah.
Pak
Santo, adalah teman pak Adi. Mereka bekerja pada kantor yang sama. Tetapi
karena pak Santo mengikuti rombongan yang berbeda, mereka tidak berada pada
kloter yang sama. Meskipun mereka berbeda hotel dan berbeda kloter, ternyata
pada hari yang ke enam, mereka bertemu di masjidil Haram. Betapa senangnya
mereka. Maka sambil bercerita pengalamannya, mereka pulang ke hotel
masing-masing sambil jalan bersama-bersama.
Pak
Adi membuka pembicaraan : “Wah, sandal yang kupersiapkan lima pasang dari rumah
itu, ternyata sekarang sudah ‘habis’. Setiap hari aku selalu lupa di mana aku
menaruhnya. Padahal pintu mana ketika aku memasuki masjid sudah aku
ingat-ingat. Tetapi tetap saja sandal yang aku letakkan di tempat yang cukup
aman itu ternyata hilang.” ” Oh, kalau masalah itu saya tahu betul. Pak Adi kan
memang orang yang pelupa, iya toh?” Kata pak Santo. ” …nggak heran saya, kalau
sandal pak Adi selalu hilang. Kadang kunci mobil yang jelas-jelas baru ditaruh
di atas meja kantor beberapa saat saja, pak Adi sudah lupa…!” sambung Pak
Santo. “…untung saja, saya ditakdirkan menjadi orang yang gampang ingat. Tidak
pelupa…ha ha ha… Sejak saya datang di kota Mekah ini, sandal yang saya pakai,
ya ini pak! lumayan-lah agak ngirit he he” kata Pak Santo. “Baiklah pak, kita
berpisah di sini ya. Kan hotel kita berbeda. Besok subuh kita ketemu di dekat
sumur zam-zam ya…” kata pak Adi. “Ok. pak, assalamu’alaikum…” sahut pak Santo
sambil menyeberang jalan menuju hotelnya. Keesokan paginya, ketika mereka di
dalam masjid, ternyata mereka berdua tidak bisa bertemu seperti maksud mereka
sebelumnya, karena jama’ah begitu penuh. Maka pak Adi pun tidak berusaha
mencari pak Santo lagi. Sekitar jam delapan pagi pak Adi pulang menuju
hotelnya, bersama-sama dengan jama’ah rombongannya.
Ketika
pak Adi berjalan, sudah sekitar lima puluh meter dari pintu masjid, ia melihat
pak Santo berdiri di dekat salah satu pintu masjid. Ia berdiri saja di dekat
pintu tersebut. Maka pak Adi pun mendekati pak Santo, yang saat itu kelihatan
agak bingung. “Ada apa pak?” Tanya pak Adi
“Ini
pak, sandal saya tadi kan saya taruh di dekat pintu ini, saya ingat betul koq,
tidak mungkin-lah saya lupa! Bahkan yang kiri saya pisahkan tempatnya dengan
yang sebelah kanan. Supaya tidak terambil orang lain. Tapi dimana ya..? Saya
sudah hampir lima belas menit berdiri disini, tapi belum ketemu juga….
Pak
Adi hanya tersenyum saja menyaksikan kebingungan pak Santo. Katanya dalam hati:
….tahu rasa kamu sekarang…!
Dan
pak Adi-pun pergi meninggalkan pak Santo yang masih kebingungan di dekat pintu
masjid. Ketika pak Adi sambil berjalan melayangkan pandangannya ke arah pak
Santo, ia melihat pak Santo-pun meninggalkan pintu masjid berjalan pulang tanpa
mengenakan alas kaki…
Lain
lagi halnya dengan bu Toni. Ketika ia berjalan pulang dengan beberapa temannya,
bu Toni bercerita bahwa ia merasa kasihan melihat bu Fajar, yang baru satu hari
di Mekah bu Fajar sudah kehilangan sandalnya. Padahal sandal itu sudah
diletakkan di tempat yang aman, di dekat tempat ia shalat katanya. Tapi tetap
saja ketika shalat sudah selesai, bu Fajar tidak menemukan sandalnya.
Kata
bu Toni: “..Ya maklumlah, karena pergeseran-pergeseran shaf ketika akan shalat,
maka tempat berubah dari posisi semula. Sehingga tentu bu Fajar kesulitan
mencari-nya kembali.”
Tiba-tiba
bu Sodiq yang berada di sebelah bu Toni berkomentar: “Kalau saya bu, sejak dari
rumah sudah diberi tahu oleh kakak saya yang tahun kemarin berangkat haji.
Pokoknya kalau ke masjid kita bawa aja tas kresek. Atau tas apa saja khusus
untuk tempat sandal supaya tidak hilang. Sekarang pun saya membawa! Dan selalu
siap sedia dengan tas tersebut, sehingga amanlah sandal saya…!”
Seperti
biasanya, keesokan harinya sebelum waktu subuh, rombongan bu Toni sudah
berangkat menuju masjid. Mereka masing-masing membawa sandalnya menuju tempat,
dimana mereka berada. Sandal mereka letakkan di dekat tempat duduk mereka.
Setelah shalat subuh dikumandangkan melalui iqamah bilal, mereka pun tenggelam
dalam suasana shalat subuh yang menyejukkan.
Seusai
shalat, mereka tetap beraktivitas di dalam masjid. Ada yang membaca Al-Qur’an
ada yang thawaf, ada yang berdzikir, dan sebagainya. Bu Sodiq pun melihat-lihat
keindahan arsitektur masjidil Haram. Ia berjalan kesana-kemari, bahkan beberapa
kali ke tempat air zam-zam. Setelah dirasa cukup dengan aktivitasnya
masing-masing, rombongan bu Toni sepakat untuk pulang ke hotel. Para jama’ah
bertebaran keluar dari masjid untuk kembali ke hotelnya masing-masing. Bu Toni
dan teman-temannya bergegas mau pulang, tetapi mereka masih menunggu bu Sodiq
yang belum kembali dari acara jalan-jalannya di dalam masjid tersebut. ” Nah,
itu dia bu Sodiq, ayo kita pulang..!” kata bu Toni. ” lho, sandal saya dimana
toh, tadi kan disini?” kata bu Sodiq setengah terkejut, setelah ia melihat tas
sandalnya tidak ada ditempatnya lagi. “iya, tadi kan di sini, bersama sandal
milik kita semua…, dimana ya? celetuk ibu yang lain. “…yaah, mungkin aja ada
orang yang keliru membawa tas sandalnya, dikira miliknya, padahal itu milik bu
Sodiq ya…” ” Mungkin juga iya…, memang warna tas saya hitam, jadi banyak yang
mirip. Sehingga mungkin saja ada orang yang lupa menaruh tasnya, maka
diambil-lah tas saya…”jawab ibu Sodiq dengan agak malu kepada ibu-ibu yang
lain. Soalnya kemarin ia sudah berbangga bahwa tidak mungkin, sandalnya akan
hilang. Secara logika, sebenarnya ‘para’ sandal tersebut tidaklah hilang.
Tetapi ada saja penyebabnya sehingga pemiliknya kehilangan atau tidak bisa
menemukan sandalnya yang sudah ditempatkan di posisi yang aman.
Pak
Adi, Pak Santo, Bu Toni, Bu Fajar, maupun bu Sodiq, mereka adalah contoh kecil
dalam hal kehilangan sandal. Setiap tahun setiap saat musim haji selalu ada
cerita unik tentang sandal japit. Satu hal, yang rata-rata menjadi kuncinya,
ialah masalah kebanggaan dan kesombongan diri.
Para
jama’ah diperintahkan bertamu di rumah Allah adalah untuk melatih
ketawadhu’annya. Melatih sabarnya, dan juga melatih ketawakalannya. Bangga,
ria, sombong adalah penyakit hati, yang mencerminkan ego yang tinggi.
Karenanya,
penyakit-penyakit itu harus dihilangkan, dengan cara berserah diri kepada Ilahi
Rabbi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, merasa rendah di hadapan
Allah Yang Maha Tinggi.
QS.Al-Qashash
(28) : 76
Sesungguhnya Karun adalah termasuk
kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:
“Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri.
Inilah
salah satu pelajaran dalam perjalanan haji. Misteri tentang sandal jepit!
Meskipun nampak sederhana, tetapi merupakan pelajaran yang memiliki nilai
sangat tinggi di dalamnya.
Sumber: http://ervakurniawan.wordpress.com