Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang
kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Karena ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apapun. Bahkan ada
ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar.
(Hadi Prasetyo, via email)
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Tasmiyah yaitu ucapan ‘Bismillah’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib, bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan.
Apabila
seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia
telah mengetahui hukumnya, maka dia berdosa dan binatangnya menjadi
bangkai yang najis dan haram.
Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ ketidaktahuan tentang hukum tersebut, maka dia tidak berdosa.
Namun penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya
menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi. Dia tidak berdosa
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa seseorang
yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa, dia mendapatkan udzur yang dengannya dia tidak berdosa. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Adapun
penyembelihan yang dilakukannya dianggap tidak sah karena membaca
tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan, berdasarkan:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
“Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya).” (Al-An’am: 118 )
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan
janganlah kalian memakan binatang-binatang sembelihan yang tidak
dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah
kefasikan.” (Al-An’am: 121)
3. Hadits Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ
سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ
فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Alat
apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan
nama Allah atasnya maka makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan
gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang. Sedangkan kuku
adalah pisau orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968 )
Dalil-dalil
ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang
disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya, dan bahwa binatang yang
disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan,
dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca
tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja.
Ini
adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu yang dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, sebagaimana dalam
Majmu’ Fatawa (35/239-240), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484-485), dan guru kami
Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ijabatus Sa’il
(hal 668 ).1
Berdasarkan hal ini, jika
seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih
tanpa membaca tasmiyah atasnya, maka tidak boleh baginya untuk memakan
daging tersebut.
Adapun
ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh
saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak,
apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240): “Namun
jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, boleh
baginya untuk memakannya dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
atasnya, dengan dasar membawa (menganggap) amalan kaum muslimin kepada
amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya.
Sebagaimana telah tsabit (tetap) dalam Ash-Shahih2:
أَنَّ
قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ
بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ
اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ
وَكُلُوهُ
“Bahwasanya
suatu kaum berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
‘Wahai Rasul Allah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam
datang dengan membawa daging (untuk kami) sedangkan kami tidak tahu
apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya, kemudian makanlah’.”3
Beliau juga rahimahullahu berkata (35/240): “Akan
tetapi jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut
nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging
sembelihan itu. Jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama
Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya.”
Semakna
dengan ini penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (7/481-482) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha di atas: “Hal ini karena seseorang dituntut untuk
membenarkan amalan yang dilakukannya. Bukan dituntut untuk mengurusi
sah tidaknya amalan orang lain. Karena suatu amalan bila dikerjakan oleh
ahlinya maka hukum asalnya adalah bahwa amalan itu sah dan selamat dari
kesalahan yang membatalkannya. Jadi, kita mengatakan: ‘Janganlah kalian
memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya’, dan jika
kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas
penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, maka
kita tidak berdosa, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Namun
jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah
atasnya, maka tidak boleh bagi kita untuk memakannya.”
Begitu
pula fatwa Al-’Allamah Muqbil Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668 )
setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha “Kita mengatakan
bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang
dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah
dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak, maka hukum asal
pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah. Namun jika engkau
yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, maka yang zhahir (nampak) -dalam
permasalahan ini- engkau tidak boleh memakannya. Barangsiapa
meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan memberi ganti yang lebih baik, wallahul
musta’an”.
Demikian
pula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/367) setelah
menyebutkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas: “Hadits ini
menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang maka
amalannya dibawa kepada penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut
nama Allah, meskipun masuk Islamnya belum lama, dalam rangka berbaik
sangka kepadanya. Maka halal bagi seseorang untuk makan daging
sembelihannya dan jangan membebani diri untuk menyelidiki proses
penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang
disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika
hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan
ketika hendak makan. Tanpa mencari tahu tentang penyebutan nama Allah
atasnya saat penyembelihan.”
Tersisa
satu permasalahan terkait dengan hal ini. Yaitu apabila tersebar
informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau
daging yang proses penyembelihannya tidak syar’i dan tidak ada
kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak
meyakinkan. Namun bagi sebagian orang, informasi itu kuat sehingga
menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa
hal itu benar. Maka wajib atas mereka untuk bertanya dan meminta
informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar
mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka
mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
(HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Al-Hakim dan yang lainnya, dari Al-Hasan
bin Ali radhiyallahu ‘anhu dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`
(1/44) dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/222).
Yang
serupa dengan ini adalah fatwa Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu
ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging-daging
sembelihan dari Eropa4, yang diduga kuat bahwa proses penyembelihannya
tidak syar’i, sedangkan daging-daging itu dijual di pasar bercampur
dengan daging-daging sembelihan lokal yang syar’i, tanpa bisa dibedakan
antara yang satu dengan yang lain. Apakah wajib atas seorang muslim
untuk menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada
pihak yang tepercaya?
Beliau rahimahullahu menjawab: “Selama
ada prasangka kuat –sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan– bahwa
daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang
syar’i, maka wajib atasnya untuk bertanya. Demikian pula, dibangun
atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk
menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan tidak boleh
menghadirinya. Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai
–sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian atsar– adalah yang dipicu oleh
rasa was-was5. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa
daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat, karena bukan
sembelihan kaum muslimin, maka tidak termasuk was-was. Melainkan termasuk dalam bab pengamalan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Al-Hawi min Fatawa Al-Albani (hal. 370-371).
Al-Lajnah
Ad-Da`imah juga dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang
diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis Ahli
Kitab, karena tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i.
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan
ahli kitab (Yahudi dan Nashara) adalah halal, kecuali jika ada alasan
yang tsabit (tetap) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram.
Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging
sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang
meyakinkan. Sehingga pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi
masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa
daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i.
Kemudian Al-Lajnah Da’imah berkata: “Berdasarkan
hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah
hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal
menjadi haram. Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara
komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa-bangsa kafir selain kaum
muslimin dan ahli kitab, maka hukumnya adalah haram. Karena
sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai.
Meskipun
demikian, barangsiapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor
tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam
rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Fatawa Al-Lajnah (22/400-402). Wallahu a’lam.
1 Pendapat yang lain mengatakan apabila lupa membaca tasmiyah maka sembelihannya sah dan halal untuk dimakan .
2 Yaitu Shahih Al-Bukhari no. 2057 dan 5507.
3 Yaitu membaca ‘Bismillah’ -pen.
4
Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila
proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat
syar’i penyembelihan, maka sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (Ahli Kitab) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Hukum
asal sembelihan mereka adalah halal seperti halnya sembelihan kaum
muslimin. Kecuali jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi
syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan itu berstatus
bangkai yang haram dikonsumsi.
Sumber :http://asysyariah.com