Monday, 23 May 2011

Melihat Nanti di Hari Ini: Sebuah Keprihatinan Sekaligus Harapan Untuk Angkatan Muda Muhammadiyah

Akan menjadi sebuah keniscayaan alamiah bila bangsa ini menjadi besar. Tentunya banyak langkah yang harus disinergikan dan banyak hal yang harus dikonsolidasikan, serta tentunya banyak hal pula yang harus disiapkan, direncanakan,dan diaktualisasikan. Konteks sejarah bangsa dalam dinamika perubahan dan konstruk perubahan telah meniscayakan akan posisi dan peran strategis pemuda. Nilai strategisnya terletak pada dua aspek penting. Pertama, aspek demografis yang memandang posisi pemuda dalam mengisi ruang sejarah, pewaris kepemimpinan bangsa yang merupakan hukum alam, bahwa setiap generasi akan berada pada zamannya sebagai bagian proses regenerasi sehingga harapan masa depan senantiasa dititipkan kepadanya. Kedua, aspek ideologis yang menempatkan pemuda pada kondisi strategis peran vital perubahan yang berangkat dari konsep ideologis yang sarat nilai, senantiasa berorientasi perubahan dan pencerahan peradaban yang dibangun atas dasar idealisme dan moralisme pemuda.
Menapaki realitas kekinian pemuda diantara keprihatinan dan harapan. Kebangkitan, demikianlah gambaran sederhana dari wajah dunia kepemudaan kita. Ditengah tuntutan perubahan dan problematika kebangsaan, gerakan kepemudaan kita mengalami kemunduran dan mengalami berbagai bentuk kealpaan ideologis.
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang merupakan komunitas generasi pelanjut Muhammadiyah sebagai salah satu elemen pemuda tak lepas dari amanah peran dan tanggungjawab kesejarahan untuk mendorong perubahan, terlebih lagi posisi AMM sebagai generasi pelanjut dan penyempurna cita cita perjuangan persyarikatan Muhammadiyah yang diamanahi tugas keummatan. Peran Muhammadiyah untuk melakukan perubahan (Tajdid) dalam dimensi agama, sosial budaya, pemikiran, dan kebangsaan, juga menjadi amanah bagi AMM. Namun sejauh ini AMM mengalami kesulitan dalam menafsir secara implementatif amanah dan tanggungjawab kekaderannya dalam bentuk varian agenda strategis. Apalagi ditengah ketidakmenentuan arah dan gerak hampir semua elemen pemuda hari ini dalam memainkan peran-peran strategis sosial, keagamaan, dan kebangsaan bahkan terkadang terbonsai dalam belenggu politik yang pragmatis. Gelombang globalisme yang meniscayakan liberalisme dan imperialisme global semakin membuat idealisme kalangan muda tidak fungsional lagi malah larut dalam arus pragmatisme dan arena -proyek- dehumanisasi yang mendekonstruksi nilai-nilai kemanusiaan dan tatanan kebangsaan.


Ideologi Tanpa Strategi
Ketidakmampuan AMM merefleksikan nilai-nilai kepemudaan dalam dunia praksis yang berbasis kemuhammadiyahan menjadi sangat problematik, sekaligus menjadi “malapetaka sosial” bagi masa depan kepeloporan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), hal ini menjadi penting mengingat posisi Pemuda Muhammadiyah sebagai salah satu locus persemaian kader untuk memelopori gerakan tajdid (pembaharuan) dan da’wah amar ma’ruf nahi mungkar yang tentunya mudah menerima (acceptable) dengan era kekinian. AMM sebagai nucleus alternative pemuda yang diharapkan menjadi pelopor dan penyempurna gerakan Muhammadiyah dalam tiga aspek yakni keagamaan, kemasyarakatan (keummatan) dan kebangsaan mengalami stagnasi yang berkepanjangan, malah terkadang justru Pemuda Muhammadiyah terjebak dalam dunia pragmatis, politis dan bahkan diperalat menjadi stempel untuk pencitraan individu dan kelompok (baca: Partai Politik).
Kealpaan idiologis adalah kegagalan membangun dan menegaskan landasan paradigmatik gerakan kepeloporan, artinya bahwa Pemuda Muhammadiyah sebagai ortom (organisasi otonom) persyarikatan Muhammadiyah gagal dalam memformulasi paradigma yang berbasis ideologi Muhammadiyah, hal ini adalah sebuah kefatalan kepeloporan pemuda, yang substansinya kegagalan dalam mengawal dan memposisikan AMM pada posisi orisinalitasnya yang lahir dari rahim sejarah Muhammadiyah sebagai kekuatan mentalitas dan kekuatan moral consiousness, bukan sekedar structural consiousness, sehingga praksis gerakan yang lahir sebagai wujud dari kesadaran kritis atau critical consciousness (Paulo Freire) kader yang terlembagakan. Setidaknya peran kepeloporan AMM dapat dipetakan kedalam tiga ranah,
Pertama, dimensi keagamaan. AMM berkewajiban untuk mengeksplorasi agama (baca; Islam) sebagai sebuah landasan paradigmatik dalam merenda gerakan tajdid (pembaharuan), baik tajdid untuk purifikatif (pemurnian agama) maupun tajdid untuk fikr (pemikiran). Islam lahir untuk agenda pembaharuan dan pencerahan sehingga mewujudkan kesadaran inti yang akan mengantarkan kepada khaerah ummah (ummat yang terbaik). Islam lahir bukan untuk dirinya namun mengandung misi universalisme dan pencerahan kemanusiaan sehingga mewujudkan integrasi Hablumminallah (ketundukan vertikal-transedental), Hablumminannas (keharmonisan horizontal-humanitas) selanjutnya dengan eksplorasi kritis konstruktif tersebut akan melahirkan sebuah bentuk manifestasi amar ma’ruf nahi mungkar yang diformulasi dalam sebuah agregasi da’wah dan gerakan penyadaran terhadap masyarakat. Arus modernisasi dan gelombang globalisasi sangat berkonstribusi terhadap kesenjangan pemaknaan keagamaan yang berdampak buruk terhadap kelakuan sehari-hari, sehingga semestinya memang semua elemen moralis turut ambil peranan untuk kembali menghidupkan agama sebagai sebuah energi yang dahsyat dan penuntun dalam kehidupan.
Kedua, dalam dimensi sosial kemasyarakatan, sejatinya AMM menjadi “mata air” pencerahan ummat ditengah kesemrawutan dan kegalauan sosial, kemiskinan, keterbelakangan mental dan pendidikan serta berbagai bentuk anomali sosial, bukan malah menjadi “air mata” atau sekedar mengisi ruang sejarah untuk dicatat oleh zamannya apalagi hanya untuk melengkapi struktur organisasi otonom Muhammadiyah, akan tetapi lebih kepada upaya pembumian semangat kepeloporan dan kepemudaan untuk mengkonstruk peradaban ummat. Teologi Al Maun yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan semestinya senantiasa menafasi dan menjadi karakter kepeloporan, yakni sebentuk semangat dan perwujudan humanisme, kepedulian terhadap sesama khususnya kepada mereka kaum akar rumput, kelompok yang terpinggirkan, terjerembab kedalam jurang kemiskinan dan lembah nista, serta mereka yang termarjinalkan oleh hegemoni otoritarianisme dan kapitalisme.
Ketiga, aspek kebangsaan. AMM seyogyanya menjadi katalisator pembangunan dan desainer kemajuan bangsa, memiliki konstruksi nasionalisme yang berbasis semangat kepeloporan. Nasionalisme disini mustinya ditafsirkan secara ideologis yakni mengarahkan praksis gerakan kolektif kepemudaan dalam berkonstribusi terhadap pemberadaban ummat. Nasionalisme bukan sekedar meramaikan ritual simbolitas upacara bendera dan sederet formalisasi aktivitas yang berwajah nasionalis, akan tetapi nasionalisme kepemudaan adalah spirit kepeloporan yang sarat perubahan sosial, membuka gerbang pluralitas, bertoleran terhadap keberagaman, dan keberbedaan dalam multi aspek kerena kesemuanya itu adalah modal sosial (social capital) dan kekayaan bangsa untuk selanjutnya diarahkan kepada upaya membangun kohesi sosial dan persaudaraan monumental, direspon secara optimal dalam bentuk agenda sosial kemanusiaan. Sehingga Pemuda Muhammadiyah tidak terkesan inklusif ditengah realitas sosial, karena inklusifitas dalam ranah sosial hanya akan merenggangkan hubungan sosial kemasyarakatan dan menjadikan agama tidak lebih sekedar langit-langit suci atau kanopi suci (holly canopy) (Peter L.Berger), sekedar tudung pelindung bagi manusia, agama yang melangit tapi tidak membumi.

Jangan Pernah Katakan Tidak Bisa!!!!
Mencita-citakan kepeloporan pemuda adalah wujud pemaknaan kritis terhadap peran dan tanggungjawab kemuhammadiyahan bagi AMM. Kepeloporan meniscayakan basis intelektualisme, artinya kepeloporan dalam tiga ranah gerakan AMM akan lesu tanpa stamina intelektualitas yang memadai. Disinilah letak signifikansinya mengkonstruk gerakan Ke-Cendikia-Mudaan, sebuah bentuk gerakan yang tidak hanya berkarakter ideologis, namun kapabel dalam aspek intelektulitas. Adalah sebuah “mimpi” belaka ketika bercita-cita perubahan sosial dan pemberadaban ummat namun tidak diback-up oleh stamina intelektulitas kader pelopor yang cukup. Gerakan Ke-Cendekia-Mudaan adalah gerakan yang menjadikan Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan paradigmatic, menginspirasi untuk mengejawantahkan kekuatan tajdid (pembaharuan). Dalam upaya tersebut maka optimalisasi membangun kultur intelektual adalah hal yang mutlak. Kultur intelektual adalah budaya yang merawat dan melestarikan nilai-nilai pengetahuan, kebenaran, moral, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran untuk sesama. Kultur intelektual atau exercise intelektual ditandai dengan aktivasi yang berorientasi pada peningkatan wawasan, penguatan wacana retorika, penajaman daya kritis, pengkajian realitas sosiokultural, perumusan ide gagasan dan konsep gerakan kepeloporan untuk kesejahteraan dan kemakmuran serta kepentingan yang lebih besar yakni untuk masa depan masyarakat bangsa. Kesadaran intelektual akan membangkitkan spirit intelektual yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk agenda-agenda kongkrit yang syarat ilmu dan nilai moralitas yang bermuara kepada perubahan sosial tersebut. Kaum intelektual mestinya senantiasa akrab dengan lingkungan sekitar, termasuk masyarakat yang sering menjadi korban ketidakadilan dan mengalami keterbelakangan, dan ketika sense of social kaum intelektual sudah meredup maka akan berdampak pada ketidakpedulian terhadap problematika sosial, inilah yang oleh sementara opini dikatakan sebagai “pengkhianatan intelektual”.

Pemuda Harus Bangkit, Hapus Semua Pesimisme!!!
Kesadaran ideologis dan modal kapasitas intelektual yang memadai akan mendorong perubahan baik secara kelembagaan maupun secara eksternal yang berbentuk praksis gerakan tajdid (pembaharuan), purifikatif dan pemikiran. Integrasi karakter kepoloporan ini yang akan mampu menumbuhkan kebangkitan pemuda dalam mengawal peradaban ummat dan bangsa. Kebangkitan pemuda adalah kebangkitan kesadaran kritis konstruktif untuk senantiasa melakukan pembaharuan dan memelopori perubahan sosial, sebentuk kesadaran inti yang substantif, jauh dari pragmatisme dalam melakukan pembacaan realitas sosial sehingga perubahan dapat terejawantahkan. Kebangkitan pemuda adalah manifestasi komitmen ideologis dan nasionalisme kebangsaan yang terintegrasi dalam jiwa kepemudaan, bukan sekedar semangat kosong yang mengatasnamakan nasionalisme, moralisme hanya menjadi tukang stempel untuk melegitimasi tindakan amoral dan biadab, nilai kemanusiaan dihabisi oleh virus kapitalisme, dan materialisme yang senantiasa mesra melakukan perselingkuhan ideologis dan kemudiaan kita
diperdaya dengan merayakan “kebangkitan (baca: kebangkrutan) nasional” dengan sangat simbolis, formalis, dan strukturalis sebagai pertanda “kepura-puraan” nasionalisme, sekedar menjadi bentuk “romantisme” sejarah bangsa dan kepeloporan pemuda angkatan 1908 dan 1928.
Bulan Mei ditahun 2011 ini adalah momentum Kebangkitan Nasional dimana AMM dan seluruh elemen pemuda yang terpadu harus bergandengan tangan, menyatukan langkah dan merapatkan shaf untuk mengukuhkan kembali soliditas kepemudaan untuk gerakan kepeloporan dalam mentajdid realitas ummat dan bangsa.

AYO BANGKITLAH AMMKU……..!!!
KOBARKAN SEMANGATMU JADILAH NOMOR SATU…….!!!!!
FASTABIQUL KHAIRAAT…...!!!


Sunday, 8 May 2011

Kembalikan Visi Agropolitan Kota Batuku

Selamat Datang di Batu, Kota Pariwisata dan Agropolitan. Begitu mungkin bunyi tulisan yang akan anda temukan ketika memasuki gerbang Kota Batu dari beberapa arah penjuru. Dengan penataan media reklame yang menarik dan eyes catching, serta dg konstruksi yang kokoh tulisan ini seolah – olah mengatakan pada semua orang akan gambaran Kota Batu. Pada mulanya Batu dikembangkan dengan menitikberatkan pengembangan sektor pertanian yaitu dengan pola agropolitan. Sesuai dengan visi Kota Batu, “Batu, Agropolitan Bernuansa Pariwisata dengan Masyarakat Madani “

Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum dijual/ ekspor ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan.

Meskipun demikian, pengembangan kawasan agropolitan sebagai bagian dari pengembangan wilayah nasional tidak bisa terlepas dari Master Plan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). RTRWN penting untuk dijadikan alat untuk mengarahkan pengembangan kawasan agropolitan sehingga pengembangan ruang nasional yang terpadu dan sistematis dapat dilaksanakan. Sosialisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan mutlak diperlukan, sehingga muncul pemahaman bersama tentang pentingnya proses ini untuk mewujudkan pembangunan di Kota Batu yang serasi, seimbang, dan terintegrasi.

Kota Batu merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang sangat potensial terutama untuk pengembangan di sektor pariwisata dan pertanian. Hal inilah yang menjadikan Batu berjuluk kota pariwisata dan pertanian (city branding Kota Batu). Lokasi Kota Batu terletak di sebelah Selatan Kota Surabaya dengan jarak sekitar 100 Km.

Kota Batu banyak memiliki potensi sumber daya alam dengan didukung kondisi fisik wilayah yang berada di pegunungan dengan ketinggian 600 – 3.000 m DPL dan suhu udara antara 17oC hingga 25,6oC, pengembangan sektor pariwisata dan pertanian mempunyai prospek yang baik bila dikembangkan dengan cara berkelanjutan dan terpadu serta berwawasan lingkungan. Seiring dengan berubahnya peran Kota Batu sebagai daerah otonom sejak 17 Oktober 2001, secara tidak langsung pengembangan Kota Batu ke depan berbeda pada saat Kota Batu merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Walaupun ada kesamaan perlu ada penekanan yang lebih intensif, terarah, dan terpadu dengan yang lainnya.
Pengembangan Kota Batu ke depan tidak terlepas dari rencana tata ruang, sehingga yang harus dilakukan pertama kali oleh Kota Batu terkait dengan rencana tata ruang adalah penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang harus diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan selama 10 tahun. Selain itu RTRW merupakan rencana pemanfaatan ruang wilayah yang disusun untuk menjaga keserasian pengembangan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan dalam jangka panjang.

Permasalahan yang timbul disini dalam mewujudkan City Branding Batu sebagai Kota Pariwisata dan Kota Pertanian/ Agropolitan adalah tidak jelasnya dinamika kehidupan Batu yang menunjukkan kepada masyarakat luar akan karakter khas dari sebuah kota agropolitan. Dengan City Branding Kota Batu sebagai Kota Pertanian/ Agropolitan dan Pariwisata sepertinya tidak ada bedanya dengan kota/ daerah lain yang tidak mengusung ikon agropolitan dalam mengembangkan kotanya, dari sisi pengembangan sektor pertanian dan pariwisata dengan penitikberatan evaluasi terhadap operasionalisasi konsep Agropolitan, karena sampai saat ini kinerja kota Batu hampir tidak ada bedanya dengan kota-kota lain yang tidak mengusung City Branding Agropolitan.

Sesuai dengan Undang-undang RI No. 26/ 2007 Tentang Penataan Ruang, pasal 1 ayat 24 yang berbunyi Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolahan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membetuk Kawasan Agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasional dan sistem permukiman pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten).
Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun Master Plan Pengembangan Kawasan Agropolitan (Sunarno, 2003). Adapun muatan yang terkandung didalamnya adalah :
1. Penetapan pusat agropolitan (Douglas, 1986) yang berfungsi sebagai  :
a. Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center).
b. Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services).
c. Pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market).
d. Pusat industri pertanian (agro-based industry).
e. Penyedia pekerjaan non pertanian (non-agricultural employment).
d. Pusat agropolitan terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/ Kabupaten).

2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
a. Pusat produksi pertanian (agricultural production).
b. Intensifikasi pertanian (agricultural intensification).
c. Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and ser vices).
d. Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification).

3. Penetapan sektor unggulan:
a. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
b. Kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal).
c. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan sistem infrastruktur
Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya : jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

5. Dukungan sistem kelembagaan.
a. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah dengan fasilitasi Pemerintah Pusat.
b. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan.

Berdasarkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan visi pembangunan Kota Batu (RTRW Kota Batu, 2003), maka fungsi Kota Batu ditetapkan sebagai Kota Pertanian (agropolitan):

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali dikenalkan oleh Mike Douglass dan Friedmann (1974) sebagai siasat untuk mengembangkan wilayah pedesaan. Pengembangan konsep ini pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan, atau dengan kata lain sering diistilahkan oleh Friedmann sebagai kota di ladang. Dengan konsep agropolitan, maka petani atau pelaku ekonomi di pedesaan tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik pelayanan yang berhubungan dengan produksi, pemasaran, ataupun kebutuhan sosial budaya dan ekonomi.
Sedangkan agropolitan yang diterapkan di Kota Batu kaitannya dengan spasial adalah pengembangan kawasan pertanian yang didalamnya orientasi kegiatannya baik secara langsung maupun tidak langsung mengarah pada kegiatan pertanian yang terpadu. Sedangkan pengembangan kawasan pertanian terpadu dikembangkan di Kota Batu terdapat pada kawasan yang mempunyai kondisi fisik (topografi, jenis tanah, hidrologi dan klimatologi) yang sesuai untuk pengembangan pertanian dan kondisi sosial budaya – ekonomi penduduk kawasan tersebut mendukung dalam pengembangan kawasan pertanian tersebut, sehingga pengembangan agropolitan di Kota Batu terdapat pada beberapa kawasan pertanian yang kondisi fisik, sosial budaya dan ekonomi cenderung kuat mengarah ke kegiatan pertanian.
Pengembangan kawasan pertanian terpadu ini selain pada media pertaniannya juga pada pengembangan produksinya yaitu :
 Input sarana produksi guna meningkatkan mutu budidaya pertanian
° Pupuk
° Bibit
° Obat-obatan
° Peralatan Pertanian
° Intensifikasi Pertanian

 Sarana Penunjang Produksi
° Lembaga Perbankkan
° Kelompok tani dan Koperasi
° Lembaga Penelitian
° Infrastruktur (jalan, Irigasi, dan lain sebagainya)

 Sarana Pemasaran
° Fasilitas Informasi
° Pasar Agribisnis
° Sarana Transportasi
° dan lain sebagainya
Dengan rencana Kota Batu dikembangkan sebagai Kota Pertanian (agropolitan) masyarakat pedesaan di Kota Batu terutama petani, untuk kebutuhan dalam melakukan kegiatan pertanian maupun pelayanan fasilitas sudah tersedia di daerahnya.
Kondisi sumber daya alam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu daerah.
a. Secara geografis Kota Batu terletak pada posisi yang mudah dijangkau melalui kota-kota sekitarnya, seperti Malang, Surabaya, Mojokerto, Jombang maupun Kediri. Dengan demikian, maka kemudahan dalam sistem distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian maupun kebutuhan lainnya sangat mudah untuk terpenuhi.
b. Dilihat dari kondisi topografi Kota Batu yang didominasi pegunungan dan perbukitan memiliki panorama yang indah dan merupakan salah satu daya tarik wisata.
c. Dilihat dari kondisi iklim yang dingin Kota Batu sangat sesuai untuk pengembangan pariwisata yang terkait dengan wisata peristirahatan. Hal ini ditunjang dengan banyaknya tujuan wisata dan fasilitas penunjang wisata.
d. Kota Batu dengan ketinggian 600 m sampai 3.000 m di atas permukaan laut dengan curah hujan yang cukup yaitu 875 – 3.000 mm per tahun dan didukung oleh suhu yang berkisar antara 23 – 270C, sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditi tanaman sub tropis pada tanaman hortikultura dan ternak. Apalagi didukung dengan jenis tanah yang subur yaitu andosol dan aluvial dengan kandungan unsur hara yang sangat baik untuk kegiatan pertanian.
e. Dilihat dari kondisi hidrologi, Kota Batu merupakan daerah resapan sehingga tidak akan kekurangan air bersih/minum karena di Kota Batu banyak terdapat sumber mata air. Selain itu di Kota Batu banyak terdapat sungai dan anak sungai, sehingga sedikit kemungkinan terjadinya banjir, apalagi Batu didominasi oleh kawasan non terbangun yang mempunyai fungsi sebagai daerah peresapan air. Ketersediaan air sungai diperoleh dari 5 (lima) buah sungai yang keseluruhannya bermuara pada Sungai Brantas. Selain untuk kebutuhan internal kawasan, hidrologi Kota Batu juga melayani kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Sampai saat ini, wilayah Kota Batu telah diinventarisasi sebanyak 111 sumber mata air produktif yang sebagian dimanfaatkan oleh PDAM Batu, PDAM Kabupaten Malang, PDAM Kota Malang, swasta, masyarakat (HIPPAM) dan irigasi (HIPPA) . Pelayanan Perusahaan Air Minum (PDAM) Batu mampu melayani rumah tempat tinggal dan instansi Pemerintah sebanyak 8.574 pelanggan, toko, hotel dan sebagainya sebanyak 290 pelanggan, badan sosial, rumah sakit dan tempat ibadah sebanyak 219 pelanggan dan tempat lain-lain sebanyak 40 pelanggan. Kapasitas maksimum air bersih yang dapat disalurkan sebanyak 145.398 m3. Sumber mata air di Kota Batu yang mempunyai debit cukup besar antara lain:
1. Mata Air Gemulo
Mata air ini berada di perbatasan antara Desa Bulukerto dengan Desa Sidomulyo, Kecamatan Bumiaji. Debit air dari mata air ini  586 lt/dt.
2. Mata Air Banyuning
Mata air ini berada di Desa Punten, Kecamatan Bumiaji. Debitnya sebesar  250 lt/dt.
3. Mata Air Ngesong
Mata air ini terletak di Desa Punten, Kecamatan Bumiaji. Mata air ini terdiri dari 3 mata air yang berdekatan dan dinamakan Mata Air Ngesong 1, Ngesong 2 dan Ngesong 3. Debit total pada saat pasang dari ketiga mata air ini dapat mencapai  638 lt/dt.
4. Mata Air Binangun
Mata air ini berada di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji. Debitnya cukup besar dan dapat mencapai 190 lt/dt. Debit mata air ini diambil oleh Kota Malang untuk penyediaan air bersih.
Banyak kawasan konservasi yaitu daerah yang terjal dengan kemiringan sekitar 25 % keatas digunakan untuk kawasan terbangun. Salah satu contoh banyak menjamurnya villa-villa yang berada di kawasan konservasi. Keadaan ini berdampak pada terjadinya erosi/tanah longsor dan banjir lumpur. Secara mendasar hal ini dikarenakan lemahnya regulasi ketika Batu masih sebagai salah satu kecamatan dari Kabupaten Malang. Solusi mengatasi hal itu saat ini adalah sangat tergantung dari pelaksana pemerintahan dan para pemangku kepentingan dalam menegakkan regulasi hasil dari Pemerintah Kota Batu sendiri. Karena sedikit saja para pengambil keputusan lengah maka yang akan terjadi adalah tumpang tindihnya peraturan hingga akibatnya fatal pada lingkungan yang bisa mengancam kehidupan manusia.

Pola penggunaan lahan akan mempengaruhi penetapan suatu fungsi kawasan. Prosentase luas kawasan terbangun dan non terbangun didasarkan atas besar kecilnya nilai perbandingan dengan luas total kawasan. Berdasarkan pola penggunanan tanahnya, Kota Batu mempunyai berbagai potensi dan permasalahan sebagai berikut:

Potensi
a. Keberadaan gunung, hutan, dan pertanian yang mendominasi penggunaan tanah Kota Batu, sangat sesuai untuk pengembangan wisata alam terkait dengan potensi yang ada di gunung, hutan, dan pertanian tersebut, misalnya pemandangan alam, air terjun, sumber air panas, agro wisata, wisata petualangan (pendakian, paralayang/gantole, panjat tebing) dan lain sebagainya.
b. Adanya pemanfaatan pekarangan rumah penduduk yang sebagian besar digunakan untuk tanaman bunga, apel, apotik hidup, dan lain sebagainya terutama di Kecamatan Bumiaji, mempunyai daya tarik sendiri dari segi wisata dan lingkungan hidup di samping nilai ekonomis.
c. Fasilitas-fasilitas pendukung skala Kota maupun skala lingkungan sementara ini sudah cukup terpenuhi dan lokasinya sudah cukup representatif.

Masalah
a. Adanya hutan gundul yang dilakukan oleh penebang liar dibeberapa tempat, menyebabkan terjadi penurunan debit sumber air dan sungai, penurunan kesuburan tanah akibat erosi. Mengingat posisi Kota Batu dalam konteks regional merupakan kawasan tangkapan air dan hulu Sungai Brantas yang melayani wilayah lainnya di Jawa Timur, terganggunya komunitas hutan di kota ini secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak yang cukup besar bagi wilayah lainnya. Maka, diperlukan kerja sama yang baik antara masyarakat dan Pemerintah Kota Batu dengan Kabupaten/Kota yang ada disekitar Kota Batu dalam memelihara hutan dan lingkungan yang ada di Kota Batu, karena dampak yang terjadi tidak saja berada di hulu tetapi hilirnya juga.
b. Terdapat banyak kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan konservasi beralih fungsi menjadi kawasan terbangun terutama untuk perumahan (antara lain sekitar sungai, daerah perbukitan/terjal). Hal ini selain berakibat pada menurunnya fungsi kawasan, juga sangat rentan terhadap timbulnya bencana-bencana seperti longsor, erosi, penurunan fungsi tanah dan lain-lain.
c. Kecenderungan kegiatan perkotaan atau kawasan terbangun yang ada di Kota Batu memusat di Kecamatan Batu, mengakibatkan tidak meratanya perkembangan Kota Batu. Selain itu dikhawatirkan akan timbul permasalahan yang lebih kompleks dimasa mendatang seperti kemacetan, banjir karena kurang daerah peresapan air, penyakit pada kawasan kumuh, dan lain sebagainya.
d. Pola penggunaan tanah di sekitar kawasan lindung atau hutan belum menunjukan keselarasan dan keterpaduan. Sebagai contoh, penggunaan lahan di sekitar kawasan hutan yang banyak dimanfatkan untuk kegiatan pertanian sayur mayur yang rentan terhadap erosi dan tanah longsor.
e. Pelaksanaan penataan ruang yang ada di Kota Batu masih belum optimal dan belum bisa dijadikan sebagai kendali dalam pemanfaatan ruang Kota Batu. Selain itu produk rencana tata ruang yang ada merupakan Perda dari Kabupaten Malang.
f. Pengawasan dan perijinan mengenai pemanfaatan ruang/penggunaan tanah masih lemah, terutama saat Kota Batu masih menjadi Kota Administratif.

Arah Pembangunan :
Sesuai dengan potensi dan prospek pengembangan Kota Batu diarahkan sebagai :
 Kota Pertanian (Agropolitan) dengan pengembangan kegiatan :
- Sentra pertanian pada tanaman pangan, tanaman hortikultura (sayur mayur, tanaman buah, tanaman bunga hias, tanaman obat atau toga), tanaman perkebunan, dan peternakan.
- Peningkatan sumber daya petani dan kelembagaan terutama pada kelompok tani dan koperasi.
- Pengembangan budidaya mutu produksi pertanian supaya dapat bersaing dalam lingkup regional, nasional dan internasional dengan peningkatan dan pengembangan pengolahan (intensifikasi) yang didukung sarana dan prasarana pertanian (bibit, pupuk, irigasi) serta teknologi pertanian.
- Pengembangan pemasaran produksi pertanian yang terpadu dengan pembangunan pasar agribisnis.
- Pengembangan Industri Pertanian (Agro Industri)

 Kota Pariwisata (City Tourism) dengan pengembangan kegiatan sebagai :
- Pengembangan kawasan wisata yang berbasis pada alam, yaitu wisata rekreasi, wisata agro, wisata petualangan, wisata ilmu pengetahuan, wisata kesehatan, wisata olah raga dengan dilengkapi fasilitas dan infrastruktur wisata yang memadai.
- Pengembangan wisata budaya pada hasil peninggalan bersejarah (candi, goa, bangunan kuno), atraksi kesenian tradisional dan industri kerajinan rakyat (gerabah, anyaman, alat-alat rumah tangga tradisional, kayu olahan dan lain sebagainya).
- Pengembangan usaha jasa wisata (akomodasi, restauran, biro perjalanan, money changer, dls) di kawasan wisata dan di pusat pelayanan wisata yang ada di kawasan pusat kota.
- Pengembangan promosi dan publikasi wisata ditingkat regional, nasional, dan internasional serta pengembangan kalender even wisata.

Sinergis dengan pengertian dari konsep pengembangan agropolitan dan visi dari Kota Batu, dapat diartikan bahwa kawasan agropolitan adalah sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk Kawasan Agropolitan. Tidak hanya Kawasan Sentra Produksi (KSP) pertanian yang selama ini sering didengungkan oleh para pelaksana pemerintahan Kota Batu, tetapi juga ada simbiosa yang mutualisme diantara desa penghasil produk pertanian dengan kota yang menjadi penerima produk pertanian. Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Apa yang terjadi saat ini terkait dengan konsep City Branding Kota Batu sebagai Kota Agrowisata yaitu kota dengan penitikberatan pembangunan sektor pertanian dan pariwisata sungguh masih jauh dari opini publik yang selama ini berkembang dimasyarakat, bak peribahasa “jauh panggang asap daripada api”.

Sebenarnya Kota Batu tidak hanya bisa menjadi tujuan wisatawan yang ingin merasakan sejuknya udara pegunungan Kota Batu, tetapi juga tujuan wisatawan yang ingin merasakan tantangan yang disajikan dari olahraga paralayang di Gunung Banyak, wisata alam mendaki gunung Panderman, wisata belanja bunga di kebun para petani bunga Sidomulyo, atau merasakan khasiat dari mandi air hangat Cangar ataupun Songgoriti, wisata belanja kerajinan di Junrejo, dan lain-lain eksplorasi obyekwisata yang tentunya dapat meneguhkan cap Kota Batu sebagai Kota Pariwisata.

Pun juga Kota Batu tidak hanya bisa menjadi broker hasil-hasil pertanian dari daerah tetangga, tetapi juga bisa dengan bangga menjual hasil pertanian dari desa di Batu itu sendiri.
Akhirnya yang terjadi adalah sampai saat ini kinerja kota Batu hampir tidak ada bedanya dengan kota-kota lain yang tidak mengusung City Branding Agropolitan

Kota Batu akan menjadi kota tujuan pariwisata baik domestik maupun mancanegara serta berkembang sesuai tujuannya sebagai kota pertanian/ Agropolitan. Tentunya banyak hal yang harus dikonsolidasikan dan langkah-langkah pembangunan yang sinergis dengan kepentingan masyarakat. Peneguhan konsep agropolitan sebagai inovasi untuk solusi bagi perkembangan Kota Batu mutlak diperlukan mengingat tingginya potensi di kawasan perdesaan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk mendorong pembangunan di Kota Batu itu sendiri.

Pengembangan kawasan agrowisata menjadi sangat penting dalam kontek pengembangan wilayah mengingat :
1. Kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal masyarakat Kota Batu.
2. Pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat kota Batu mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat.
3. Dalam penetapan pusat agropolitan harus memperhatikan sistem pusat-pusat produksi pertanian/ Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan penyebarannya sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang.
4. Perlu ada koordinasi yang sinergis diantara pemerintah sebagai otoritas yang berkompeten dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam mengembangkan Kota Batu sebagai kota Agrowisata.
5. Perlu mencoba kreatifitas yang lebih konkrit semisal menjadikan Batu sebagai Kota Konvensi (MICE: Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition), membuka promosi produk pertanian dan pariwisata melalui misalnya menyelenggarakan Agro and Tourism Expo hal ini dapat dijadikan sentra promosi dan eksibisi bagi komersialisasi dan marketing produksi pertanian regional.
6. Perlu mengadopsi strategi franchise semisal Kota Batu memiliki outlet disetiap daerah di Jawa Timur atau nasional yang memaparkan dan memasarkan produk pertanian dan pariwisata Kota Batu.

Akhirnya tiada prestasi tanpa kreatifitas untuk melakukan inovasi tiada henti dalam mencari sebuah alternatif solusi sebagai responsi terhadap permasalahan perkembangan kota dan permukiman di Kota Batu, maka Agropolitan, adalah inovasi untuk solusi perkembangan Kota Batu. Selamat Bekerja Untuk Kita Semua, Berikan Inovasi Dan Prestasimu Untuk Batuku, Batumu, Batu Kita Semua. Think Globally Act Locally.08052011@alfinh214